Rabu, 20 Januari 2016
Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan serta saling menasehati
untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran (QS 103; 3)
Kenapa orang Jawa menggelar acara ruwatan dan apa falsafah di balik upacara ruwatan yang bagi sebagian kalangan dianggap berbau klenik dan ditafsirkan negatif itu? Marilah kita bersama-sama menelusuri hakikat di balik tradisi ruwatan. Awalnya, kita perlu tahu siapa saja yang harus diruwat karena mengandung unsur negatif/kesalahan/bencana. Menurut kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwa Kala” yang bersumber dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V) orang yang harus diruwat ada 60 jenis yaitu:
1. ONTANG-ANTING, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
2. UGER-UGER LAWANG, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal.
3. SENDHANG KAPIT PANCURAN, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan.
4. PANCURAN KAPIT SENDHANG, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki.
5. ANAK BUNGKUS, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta).
6. ANAK KEMBAR, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan).
7. KEMBANG SEPASANG, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
8. KENDHANA-KENDHINI, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
9. SARAMBA, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki.
10. SRIMPI, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan.
11. MANCALAPUTRA atau Pandawa, yaitu 5 orang anak yang semuanya laki-laki.
12. MANCALAPUTRI, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan.
13. PIPILAN, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki.
14. PADANGAN, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang anak perempuan.
15. JULUNG PUJUD, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam.
16. JULUNG WANGI, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari.
17. JULUNG SUNGSANG, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang.
18. TIBA UNGKER, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal.
19. JEMPINA, yaitu anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan sudah lahir.
20. TIBA SAMPIR, yaitu anak yang lahir berkalung usus.
21. MARGANA, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan.
22. WAHANA, yaitu anak yang lahir dihalaman atau pekarangan rumah.
23. SIWAH ATAU SALEWAH, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macam warna, misalnya hitam dan putih.
24. BULE, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih “bule”
25. Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam.
26. WALIKA, yaitu anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil.
27. WUNGKUK, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok.
28. DENGKAK, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol, seperti punggung onta.
29. WUJIL, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek.
30. LAWANG MENGA, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya “Candikala” yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan.
31. MADE, yaitu anak yang lahir tanpa alas (tikar).
32. Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan “Dandhang” (tempat menanak nasi).
33. Memecahkan “Pipisan” dan mematahkan “Gandik” (alat landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional).
34. Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada “tutup keyongnya”.
35. Orang tidur di atas kasur tanpa sprei (penutup kasur).
36. Orang yang membuat pepajangan atau dekorasi tanpa samir atau daun pisang.
37. Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap.
38. Orang yang menempatkan barang di suatu tempat (dandhang – misalnya) tanpa ada tutupnya.
39. Orang yang membuat kutu masih hidup.
40. Orang yang berdiri ditengah-tengah pintu.
41. Orang yang duduk didepan (ambang) pintu.
42. Orang yang selalu bertopang dagu.
43. Orang yang gemar membakar kulit bawang.
44. Orang yang mengadu suatu wadah/tempat (misalnya dandhang diadu dengan dandhang).
45. Orang yang senang membakar rambut.
46. Orang yang senang membakar tikar dengan bambu (galar).
47. Orang yang senang membakar kayu pohon “kelor”.
48. Orang yang senang membakar tulang.
49. Orang yang senang menyapu sampah tanpa dibuang atau dibakar sekaligus.
50. Orang yang suka membuang garam.
51. Orang yang senang membuang sampah lewat jendela.
52. Orang yang senang membuang sampah atau kotoran dibawah (dikolong) tempat tidur.
53. Orang yang tidur pada waktu matahari terbit.
54. Orang yang tidur pada waktu matahari terbenam (wayah surup).
55. Orang yang memanjat pohon disiang hari bolong atau jam 12 siang (wayah bedhug).
56. Orang yang tidur diwaktu siang hari bolong jam 12 siang.
57. Orang yang menanak nasi, kemuadian ditinggal pergi ketetangga.
58. Orang yang suka mengaku hak orang lain.
59. Orang yang suka meninggalkan beras di dalam “lesung” (tempat penumbuk nasi).
60. Orang yang lengah, sehingga merobohkan jemuran “wijen” (biji-bijian).
Mereka adalah jenis-jenis orang yang di dalam kisah perwayangan disarankan oleh Batara Guru agar dijadikan santapan atau makanan Batara Kala. Dalam Pustaka Raja Purwa karya Ranggawarsito bahkan disebutkan ada 136 macam Sukerta. Menurut kepercayaan Jawa, orang-orang yang tergolong di dalam kriteria tersebut dapat menghindarkan diri dari malapetaka (disimbolkan menjadi makanan Betara Kala) jika ia mengadakan acara ruwatan dengan menggelar wayang dengan lakon Murwakala, Baratayuda, Sudamala, atau Kunjarakarna. Selain Ruwatan Sukerta, terdapat juga “Ruwat Sengkala atau Sang Kala” yang artinya menjadi mangsa “kala” atau “waktu.”
Sebagaimana diketahui dalam kitab Suci bahwa siapa yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan beramal sholeh maka dia termasuk orang-orang yang merugi. Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran (QS 103; 3)
Apalagi bila jalan kehidupan orang tersebut terbelenggu materi yang akhirnya nyrimpeti “laku”. Dia akan merasa penuh kesulitan karena tidak bisa sejalan harmonis dengan dengan alur hukum alam (ruang dan waktu). Kesalahan-kesalahan perbuatan atau tingkah laku dia sendiri atau orang lain (leluhur masa lalu) jelas memiliki akibat di masa sekarang. Saya menduga, para leluhur kita di Jawa telah ‘niteni’ siapa saja orang-orang yang hidupnya diliputi dengan kesulitan =karena susah memenej dan mengkoordinasi dirinya sehingga muncul kesulitan atau bencana. Yaitu 60 jenis orang yang telah disebutkan di atas, sehingga upacara ruwatan adalah momentum untuk ngelingke (mengingatkan) mereka agar kembali ke jalan yang lurus.
Kenapa dalam ruwatan digelar wayang? Kok tidak ndangdutan, disko, tari tayub/ledhek atau kesenian yang lain? Wayang adalah pertunjukan yang sarat dengan tuntunan ajaran filsafat hidup. Berbeda dengan seni-seni lain yang mudah diapresiasi/ dinikmati dan murni hiburan/entertainment, penonton pergelaran wayang membutuhkan perenungan yang sangat mendalam karena di dalamnya bermuatan ajaran-ajaran hidup bijaksana. Wayang adalah perpaduan berbagai sebagai seni pertunjukan yang merangkum bermacam-macam unsur lambang simbolis, bahasa gerak, suara, warna dan rupa.
Di dalam unsur simbolis ini tercermin pengalaman religius atau perjalanan spiritual sebagaimana yang diperankan tokoh-tokoh wayang tersebut. Pertunjukan wayang idealnya diwariskan secara turun temurun agar menjadi tetenger eksistensi budaya Jawa. Wayang adalah sarana efektif penyampaian ajaran filsafat hidup yang menuntun bagaimana harus bertingkah laku secara bijaksana antar individu maupun individu di dalam masyarakat dan hubungan dengan Gusti. Individu juga diajarkan mengenali hakikat diri sejati dan perjalanan-perjalanan yang harus dilakoninya sebagai kewajiban hidup.
Benarkah mereka yang telah diruwat akan berbebas dari dosa dan kesalahan? Jawaban anak kecil barangkali ya. Namun saat kesadaran kita telah beranjak dewasa, maka tidak mungkin hanya dengan ucapara ruwatan bisa menebus kesalahan dan kesucian orang. Tentu saja, ajaran Jawa yang dianggap klenik semacam ini harus diluruskan sesuai dengan hakikatnya. Hakikat dari upacara (syariat) harus diteruskan untuk mengenali upasana dan upadinya. (hakikatnya sebagai pembelajaran agar terjadi penyadaran).
Selain itu, upacara adalah sebuah tindakan simbolis yang merupakan relasi penghubung antara komunikasi human kosmis dan komunikasi lahir batin dengan Gusti Kang Akaryo Jagad. Tindakan simbolis dalam upacara nerupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja, karena manusia harus bertindak dan berbuat yang melambangkan sebuah hubungan khusus dengan Tuhan.
Substansi lakon Murwakala pada tradisi ruwatan adalah pembebasan. Pembebasan manusia dari “mangsa” Batara Kala (kala=waktu). Tokoh Batara Kala adalah anak Batara Guru yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian spermanya jatuh ketengah laut dan menjelma menjadi raksasa: “Kama salah kendang gumulung”. Ketika Batara Kala menghadap sang ayah Batara Guru untuk meminta makan, oleh Batara Guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta.
Dalam ruwatan, selain digelar wayang kulit dengan lakon Murwakala diperlukan sesajen beraneka makanan yang merupakan simbol yang harus ditafsirkan. Sarana sesajen ini juga sebagai cara pembelajaran. Berbeda dengan menggunakan buku-buku, penyampaian ajaran hidup yang memakai cara “sesajen” ini pasti mudah diingat dalam waktu lama dan antar generasi.
Menurut Ki Soedarsono sesajen dalam ruwatan adalah:
1. Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan.
2. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainnya.
3. Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Ki Dalang selama pertunjukan. Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
4. Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah).
5. Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dsb. Nasi wuduk dilengkapi dengan ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau brambang, dan kedele hitam. Nasi kuning dengan perlengkapan telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
6. Jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
7. Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
8. Benang lawe, minyak kelapa dipergunakan untuk lampu blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong. Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
Berupa sesajen antara lain:
1. Rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading lima ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
2. Sajen buangan yang “ditunjukkan” kepada dahyang (makhluk halus penghuni suatu tempat) yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen). Sajen itu diletakkan di tempat dahyang.
3. Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat diletakkan kelapa utuh. Selesai upacara ruwat bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau, kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dan berdoa mohon tercapai apa yang diharapkan.
Kenapa orang Jawa menggelar acara ruwatan dan apa falsafah di balik upacara ruwatan yang bagi sebagian kalangan dianggap berbau klenik dan ditafsirkan negatif itu? Marilah kita bersama-sama menelusuri hakikat di balik tradisi ruwatan. Awalnya, kita perlu tahu siapa saja yang harus diruwat karena mengandung unsur negatif/kesalahan/bencana. Menurut kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwa Kala” yang bersumber dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V) orang yang harus diruwat ada 60 jenis yaitu:
1. ONTANG-ANTING, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
2. UGER-UGER LAWANG, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal.
3. SENDHANG KAPIT PANCURAN, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan.
4. PANCURAN KAPIT SENDHANG, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki.
5. ANAK BUNGKUS, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta).
6. ANAK KEMBAR, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan).
7. KEMBANG SEPASANG, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
8. KENDHANA-KENDHINI, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
9. SARAMBA, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki.
10. SRIMPI, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan.
11. MANCALAPUTRA atau Pandawa, yaitu 5 orang anak yang semuanya laki-laki.
12. MANCALAPUTRI, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan.
13. PIPILAN, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki.
14. PADANGAN, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang anak perempuan.
15. JULUNG PUJUD, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam.
16. JULUNG WANGI, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari.
17. JULUNG SUNGSANG, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang.
18. TIBA UNGKER, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal.
19. JEMPINA, yaitu anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan sudah lahir.
20. TIBA SAMPIR, yaitu anak yang lahir berkalung usus.
21. MARGANA, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan.
22. WAHANA, yaitu anak yang lahir dihalaman atau pekarangan rumah.
23. SIWAH ATAU SALEWAH, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macam warna, misalnya hitam dan putih.
24. BULE, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih “bule”
25. Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam.
26. WALIKA, yaitu anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil.
27. WUNGKUK, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok.
28. DENGKAK, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol, seperti punggung onta.
29. WUJIL, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek.
30. LAWANG MENGA, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya “Candikala” yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan.
31. MADE, yaitu anak yang lahir tanpa alas (tikar).
32. Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan “Dandhang” (tempat menanak nasi).
33. Memecahkan “Pipisan” dan mematahkan “Gandik” (alat landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional).
34. Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada “tutup keyongnya”.
35. Orang tidur di atas kasur tanpa sprei (penutup kasur).
36. Orang yang membuat pepajangan atau dekorasi tanpa samir atau daun pisang.
37. Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap.
38. Orang yang menempatkan barang di suatu tempat (dandhang – misalnya) tanpa ada tutupnya.
39. Orang yang membuat kutu masih hidup.
40. Orang yang berdiri ditengah-tengah pintu.
41. Orang yang duduk didepan (ambang) pintu.
42. Orang yang selalu bertopang dagu.
43. Orang yang gemar membakar kulit bawang.
44. Orang yang mengadu suatu wadah/tempat (misalnya dandhang diadu dengan dandhang).
45. Orang yang senang membakar rambut.
46. Orang yang senang membakar tikar dengan bambu (galar).
47. Orang yang senang membakar kayu pohon “kelor”.
48. Orang yang senang membakar tulang.
49. Orang yang senang menyapu sampah tanpa dibuang atau dibakar sekaligus.
50. Orang yang suka membuang garam.
51. Orang yang senang membuang sampah lewat jendela.
52. Orang yang senang membuang sampah atau kotoran dibawah (dikolong) tempat tidur.
53. Orang yang tidur pada waktu matahari terbit.
54. Orang yang tidur pada waktu matahari terbenam (wayah surup).
55. Orang yang memanjat pohon disiang hari bolong atau jam 12 siang (wayah bedhug).
56. Orang yang tidur diwaktu siang hari bolong jam 12 siang.
57. Orang yang menanak nasi, kemuadian ditinggal pergi ketetangga.
58. Orang yang suka mengaku hak orang lain.
59. Orang yang suka meninggalkan beras di dalam “lesung” (tempat penumbuk nasi).
60. Orang yang lengah, sehingga merobohkan jemuran “wijen” (biji-bijian).
Mereka adalah jenis-jenis orang yang di dalam kisah perwayangan disarankan oleh Batara Guru agar dijadikan santapan atau makanan Batara Kala. Dalam Pustaka Raja Purwa karya Ranggawarsito bahkan disebutkan ada 136 macam Sukerta. Menurut kepercayaan Jawa, orang-orang yang tergolong di dalam kriteria tersebut dapat menghindarkan diri dari malapetaka (disimbolkan menjadi makanan Betara Kala) jika ia mengadakan acara ruwatan dengan menggelar wayang dengan lakon Murwakala, Baratayuda, Sudamala, atau Kunjarakarna. Selain Ruwatan Sukerta, terdapat juga “Ruwat Sengkala atau Sang Kala” yang artinya menjadi mangsa “kala” atau “waktu.”
Sebagaimana diketahui dalam kitab Suci bahwa siapa yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan beramal sholeh maka dia termasuk orang-orang yang merugi. Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran (QS 103; 3)
Apalagi bila jalan kehidupan orang tersebut terbelenggu materi yang akhirnya nyrimpeti “laku”. Dia akan merasa penuh kesulitan karena tidak bisa sejalan harmonis dengan dengan alur hukum alam (ruang dan waktu). Kesalahan-kesalahan perbuatan atau tingkah laku dia sendiri atau orang lain (leluhur masa lalu) jelas memiliki akibat di masa sekarang. Saya menduga, para leluhur kita di Jawa telah ‘niteni’ siapa saja orang-orang yang hidupnya diliputi dengan kesulitan =karena susah memenej dan mengkoordinasi dirinya sehingga muncul kesulitan atau bencana. Yaitu 60 jenis orang yang telah disebutkan di atas, sehingga upacara ruwatan adalah momentum untuk ngelingke (mengingatkan) mereka agar kembali ke jalan yang lurus.
Kenapa dalam ruwatan digelar wayang? Kok tidak ndangdutan, disko, tari tayub/ledhek atau kesenian yang lain? Wayang adalah pertunjukan yang sarat dengan tuntunan ajaran filsafat hidup. Berbeda dengan seni-seni lain yang mudah diapresiasi/ dinikmati dan murni hiburan/entertainment, penonton pergelaran wayang membutuhkan perenungan yang sangat mendalam karena di dalamnya bermuatan ajaran-ajaran hidup bijaksana. Wayang adalah perpaduan berbagai sebagai seni pertunjukan yang merangkum bermacam-macam unsur lambang simbolis, bahasa gerak, suara, warna dan rupa.
Di dalam unsur simbolis ini tercermin pengalaman religius atau perjalanan spiritual sebagaimana yang diperankan tokoh-tokoh wayang tersebut. Pertunjukan wayang idealnya diwariskan secara turun temurun agar menjadi tetenger eksistensi budaya Jawa. Wayang adalah sarana efektif penyampaian ajaran filsafat hidup yang menuntun bagaimana harus bertingkah laku secara bijaksana antar individu maupun individu di dalam masyarakat dan hubungan dengan Gusti. Individu juga diajarkan mengenali hakikat diri sejati dan perjalanan-perjalanan yang harus dilakoninya sebagai kewajiban hidup.
Benarkah mereka yang telah diruwat akan berbebas dari dosa dan kesalahan? Jawaban anak kecil barangkali ya. Namun saat kesadaran kita telah beranjak dewasa, maka tidak mungkin hanya dengan ucapara ruwatan bisa menebus kesalahan dan kesucian orang. Tentu saja, ajaran Jawa yang dianggap klenik semacam ini harus diluruskan sesuai dengan hakikatnya. Hakikat dari upacara (syariat) harus diteruskan untuk mengenali upasana dan upadinya. (hakikatnya sebagai pembelajaran agar terjadi penyadaran).
Selain itu, upacara adalah sebuah tindakan simbolis yang merupakan relasi penghubung antara komunikasi human kosmis dan komunikasi lahir batin dengan Gusti Kang Akaryo Jagad. Tindakan simbolis dalam upacara nerupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja, karena manusia harus bertindak dan berbuat yang melambangkan sebuah hubungan khusus dengan Tuhan.
Substansi lakon Murwakala pada tradisi ruwatan adalah pembebasan. Pembebasan manusia dari “mangsa” Batara Kala (kala=waktu). Tokoh Batara Kala adalah anak Batara Guru yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian spermanya jatuh ketengah laut dan menjelma menjadi raksasa: “Kama salah kendang gumulung”. Ketika Batara Kala menghadap sang ayah Batara Guru untuk meminta makan, oleh Batara Guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta.
Dalam ruwatan, selain digelar wayang kulit dengan lakon Murwakala diperlukan sesajen beraneka makanan yang merupakan simbol yang harus ditafsirkan. Sarana sesajen ini juga sebagai cara pembelajaran. Berbeda dengan menggunakan buku-buku, penyampaian ajaran hidup yang memakai cara “sesajen” ini pasti mudah diingat dalam waktu lama dan antar generasi.
Menurut Ki Soedarsono sesajen dalam ruwatan adalah:
1. Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan.
2. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainnya.
3. Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Ki Dalang selama pertunjukan. Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
4. Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah).
5. Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dsb. Nasi wuduk dilengkapi dengan ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau brambang, dan kedele hitam. Nasi kuning dengan perlengkapan telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
6. Jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
7. Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
8. Benang lawe, minyak kelapa dipergunakan untuk lampu blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong. Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
Berupa sesajen antara lain:
1. Rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading lima ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
2. Sajen buangan yang “ditunjukkan” kepada dahyang (makhluk halus penghuni suatu tempat) yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen). Sajen itu diletakkan di tempat dahyang.
3. Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat diletakkan kelapa utuh. Selesai upacara ruwat bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau, kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dan berdoa mohon tercapai apa yang diharapkan.