Ajianmu, Kesurupan berasal dari kata “Surup” yang artinya sore hari menjelang maghrib. Pada saat surup-surup inilah makhluk halus dengan mudah memasuki dimensi fisis.
Orang Jawa dulu biasanya memberi nasehat kepada anak-anaknya agar tidak keluar rumah menjelang mahgrib tiba. Sebab pada saat itu, para hantu ke luar rumah untuk berjalan-jalan. Bila mereka menemui anak-anak kecil, maka akibatnya anak tersebut akan mengalami kesurupan. Nasehat dan anjuran para sepuh Jawa ini tidak ada yang salah.
Setidaknya, ada aspek positifnya bila diterapkan pada masa sekarang. Yaitu pada saat maghrib, anak-anak diajari untuk tertib. Menghentikan aktivitas bermain dan kemudian diajarkan untuk ngaji, sholat atau beribadah lain. Anak-anak diajari untuk menghargai waktu sehingga mereka kelak akan memaknai waktu sebagai karunia Tuhan yang harus diisi sebaik-baiknya.
Kedua, anak-anak diajari untuk “waskita” atau memiliki kecerdasan kosmis untuk memandang segala sesuatu secara holistik, ya aspek fisik ya aspek metafisiknya. Kelak bila mereka sudah memasuki usia dewasa, akal mereka akan berpikir kenapa orang tua melarang bermain di waktu surup. Pembelajaran kewaskitaan di dunia pendidikan kini sudah tergerus oleh pemonorsatuan aspek kognitif/akal saja. Sementara pembelajaran yang menekankan pada optimalisasi aspek mental dan spiritual tercecer bahkan tidak lagi mendapat prioritas.
Budaya, mitos dan spiritual sesungguhnya adalah tiga aspek yang sangat penting untuk menyampaikan sebuah ajaran. Di dunia pendidikan, budaya harus dikembangkan karena setiap individu harus hidup di lingkungan sosial kemasyarakatan yang sudah ada tata nilai dan keyakinan bersama. Mitos adalah sarana agar ajaran-ajaran spiritual yang luhur tersebut tersampaikan dan mengendap di otak untuk jangka waktu yang panjang. Dengan paradigma BUDAYA, MITOS, dan SPIRITUAL inilah Kampus Wongalus ingin mengadakan perubahan pola pikir dan mindset kita bersama.
Mitos ini bisa disamakan saat kita mendongeng untuk anak-anak kita menjelang tidur. Dengan dongeng-dongeng, anak akan mudah menerima nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Padahal, dongeng itu kadang tidak masuk akal. Ini tidak jadi soal. Sebab kemanfaatan sebuah dongeng terletak bukan pada masuk akal atau tidak. Namun pada nilai-nilai yang dibawanya. Kelak, bila sudah dewasa mereka akan mudah memilah yang masuk akan dan tidak dengan sendirinya.
Fenomena kesurupan yang banyak terjadi di sekolah-sekolah, hakikatnya adalah pengingat pada pengambil kebijakan di dunia pendidikan agar tidak menomorsatukan aspek kognitif saja. Kurikulum pendidikan yang terlalu otak kiri sentris harus ditata kembali. Sehingga pengembangan otak kanan/ aspek emosional dan batiniah yang akan memberi kekayaan ngelmu kebijaksanaan kembali mendapatkan tempat. Apakah Bapak-bapak yang kini jadi Menteri Pendidikan, Dirjen, Para Pejabat Eselon di Departemen Pendidikan Nasional tidak ingat lagi ya… bahwa pendidikan itu obyeknya jelas manusia dan manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi cipta, rasa dan karsa?…
Kesurupan adalah sebuah keadaan dimana makhluk halus memasuki jasad fisik seseorang. Makhluk itu akan menguasai pikiran, ucapan dan tindakannya sehingga orang akan hilang kesadarannya. Mahluk yang halus itu ada di mana-mana dan dia siap untuk memasuki tubuh siapa saja yang kesadarannya sedang “blank”.
Apa kesadaran “blank” itu? Yaitu fase dimana gelombang otak seseorang memasuki fase alfa teta. Anak-anak yang masih suka berkhayal paling mudah kena kesurupan/kerasukan/kerauhan. Bila orang dewasa masih suka berkhayal maka boleh jadi dia juga mudah kena kerasukan. Anak indigo yang gelombang otaknya sangat rendah juga sering mengalami kesurupan. Ada apa sesungguhnya di gelombang otak rendah ini kok kita mudah berhubungan dengan makhluk halus? Sebab makhluk halus itu gelombang fisiknya juga rendah dan tertangkap oleh kesadaran kita yang sedang memasuki alam yang ada di gelombang rendah pula.
Ini berbeda dengan meditasi untuk menurunkan gelombang otak hingga mencapai titik hening. Dalam meditasi, diri sejati kita tetap akan menjaga agar tidak ada energi halus dari luar diri yang akan masuk dan menguasai kesadaran kita. Bila orang kesurupan berarti kesadarannya nol persen, maka kesadaran orang meditasi adalah seratus persen. Ini sebab kenapa orang meditasi tidak pernah kesurupan. Kecuali bila memang dikehendaki. Lho kok gitu? Ya, sebab ada pula jenis meditasi yang memang menginginkan agar kesadarannya dimasuki oleh makhluk halus. Jadi memang disengaja demikian.
Jenis meditasi ini bisa kita temui pada teknik perdukunan yang menggunakan teknik perewangan, yaitu seorang medium yang melakukan meditasi dan kemudian mengalami “kesurupan” disengaja. Biasanya, orang-orang dewasa memanfaatkan kesurupan disengaja ini untuk mencari nomor lotre, mencari barang hilang, mencari penjahat (digunakan oleh aparat kepolisian) dan lain-lain.
Sebelum hadirnya agama-agama di nusantara, kepercayaan asli nenek moyang kita dulu ya seperti ini. Yaitu kepercayaan adanya banyak yang adikodrati yang menguasai benda-benda, pohon, gunung, bebatuan dan lain-lainnya. Kini mereka yang masih memiliki keyakinan seperti ini dalam khasanah ilmu antropologi disebut dengan Shamanisme. Keyakinan animisme, dinamisme dan shamanisme ini tidak bisa dipisahkan secara tegas. Sebab, pada praktiknya hampir sama meskipun beda obyek sesembahannya.
Untuk membuka jalur komunikasi yang adikodrati, manusia memerlukan seseorang yang pandai untuk mengalami kesurupan yang disengaja tadi. Oleh masyarakat, orang pandai (wong pinter/wong tuwo) ini kemudian dijadikan pemimpin ritual. Dia dihormati, diajeni, dituakan, ditakuti karena memiliki kelebihan dan dianggap sebagai utusan dari dunia adikodrati. Ucapannya ditaati dan tindak tanduknya dijadikan contoh kebaikan.
Untuk melalukan komunikasi dengan dunia metafisis tadi, si wong pinter yang pemuka adat ini biasanya melalukan ritual. Hakekatnya sama dengan para penganut agama dalam masyarakat modern. Ritual itu adalah cara melakukan kontak (menghubungkan) antara yang adikodrati dan manusia. Setidaknya ada syarat yang harus ada dalam sebuah upacara ritual: doa/mantra, korban sesembahan, harapan/permintaan.
Upacara ritual digunakan untuk memberikan sebuah persembahan kepada yang supranatural dengan mantra-mantra khusus untuk meminta mereka melakukan berbagai aktivitas. Jadi selain bermakna filosofis, upacara ritual juga bermakna mistis. Misalnya penyembuhan, mendatangkan keberuntungan, banyak rezeki, keselamatan dan sebagainya. Sang dukun kemudian “kerasukan.” Bisa juga orang lain sebagai medium yang bersedia badannya dimasuki para makhluk gaib itu. Upacara ritual biasanya juga diadakan untuk membimbing arwah orang yang sudah meninggal menuju alam barzakh/alam kelanggengan.
Terkait dengan teknik kesurupan yang disengaja tadi, ada baiknya kita mengambil rujukan tradisi shamanisme purba yang ada di banyak peradaban kumo. Kenapa? Sebab itulah awal mula tradisi kesurupan yang disengaja.
Kata “shaman” diambil dari bahasa Tungusik yang digunakan oleh suku bangsa Tungusik di wilayah Siberia dan Asia Tengah. Istilah shaman sendiri mulai dipakai secara luas oleh kalangan antropolog sejak diterbitkannya karya Mircea Eliade yang berjudul “Shamanism; Archaic Techniques of Ectasy” (Shamanisme; Teknik Kuno Mencapai Ekstasi). Eliade menyebut shamanisme sebagai teknik ekstasi yang tidak serupa dengan bentuk ilmu hitam, sihir atau bahkan pengalaman ekstasi keagamaan.
Shamanisme telah berusia lebih dari 40 ribu tahun. Kata shaman disamakan dengan “dukun”, “tabib”, “psychopomp”, mistik, dan puitis. Apa yang membedakan shaman dengan para pemimpin spiritual jaman sekarang adalah kemampuannya untuk melakukan teknik trance (kerasukan).
Pada saat tak sadarkan diri, jiwa si dukun akan pergi dari tubuhnya dan menuju alam lain dengan panduan arwah lain. Ia dapat melakukan penyembuhan dalam banyak tingkatan; secara fisik, psikologi, dan spiritual. Dalam konsepnya, jiwa seseorang dianggap sebagai tempat tinggal nafas kehidupan dan raga. Setiap sakit fisik sudah pasti disebabkan sakitnya jiwa. Penyakit pikiran menyebabkan penderitaan diri, kekacauan dan ketidaksadaran diri.
Ada banyak sekali jumlah sembahan yang diyakini masyarakat dulu seperti para dewa, roh-roh dan setan. Dewa tertinggi menjadi raja para dewa yang menguasai alam lain di langit dan gunung. Kepercayaan shamanisme juga meyakini makhluk halus/roh-roh yang mendiami hutan, gua keramat, batu-batuan, rumah-rumah dan desa, juga hantu-hantu orang yang meninggal secara tidak wajar. Roh-roh ini dipercaya mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi atau memberi keberuntungan bagi manusia.
Maka, dalam keyakinan shamanisme, kehidupan manusia ini banyak diikuti oleh cawe-cawe para mahkluk gaib untuk membantu hidup manusia. Dan si dukun shaman dianggap orang orang yang berpengaruh dan dijadikan tempat berkonsultasi untuk suatu keperluan. Mulai sakit fisik hingga meramal nasib. Mulai awal tahun 1970-an, ritual-ritual khususnya di Jawa mulai ditinggalkan secara bertahap. Masyarakat modern saat ini menganggap shamanisme hanya sebagai takhayul dan meskipun dianggap takhayul, toh masih banyak yang diam-diam menggunakan jasa para dukun untuk memenuhi kebutuhan dunia mereka.
Untuk meminta petunjuk supranatural setidaknya kita mengenal dua cara kesurupan yang disengaja. Yaitu dengan tari-tarian atau gerakan ritmis tertentu sehingga kesadaran penarinya turun, kondisi jiwa saking “asyiknya” dan kemudian memasuki fase “trance”. Pada pada saat itu, sebenarnya sang penari akan mengalami kesakitan fisik dan jiwa.
Pengalaman ini diyakini adalah upaya penerimaan dan penyatuan secara penuh dengan arwah leluhur sehingga saat sadar nantinya kesehatannya akan semakin baik. Jenis kedua, dukun yang mengalami kerasukan mampu melakukan peramalan melalui tuntunan suara gaib dari dua jenis makhluk. Yaitu dari bisikan mistis makhluk halus maupun dari ruh orang-orang yang sudah meninggal.
BERBAHAYA
Hal utama yang membahayakan terjadi saat proses kesurupan. Bila jiwa kita bersedia untuk dijadikan medium makhluk halus maka jiwa akan mudah mengalami penderitaan yang dicirikan dengan hilangnya nafsu makan, insomnia, serta halusinasi visual dan pendengaran. Untuk menyembuhkan sakit ini diperlukan ritual yang melibatkan dukun yang lain.
Proses kesurupan juga terjadi pada seseorang yang terkena guna-guna atau santet. Yang sering ditemui adalah korban tidak mau makan dan mengalami penurunan kesehatan tubuh. Di jenis yang lain kadang-kadang diikuti sakit psikis, kegoncangan mental. Tubuh mereka akan melemah dan kejang-kejang dalam beberapa kasus diikuti buang air darah. Ia juga akan mengalami sakit jiwa dan halusinasi dengan pikiran yang sangat lelah karena mengalami kontak dengan alam gaib. Makhluk halus yang merasuki korban bahkan dapat bertahan dalam waktu lama, rata-rata 8 tahun dan bahkan puluhan tahun.
Dalam beberapa kasus, korban yang berpenyakit jiwa ini menjadi sangat ekstrim, lari dari rumah dan berkeliaran di mana-mana. Keluarga korban dan para tetangga pun lama-lama jenuh untuk merawat. Bahkan mereka kadang tega untuk memasung korban karena membahayakan akibat perilakunya yang cenderung agresif. Para tetangga pun akhirnya menjauhi keluarga korban yang dianggap tidak mampu merawat korban dengan baik.
Gejala ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan modern karena akan memperparah sakit jiwanya. Sakit ini harus disembuhkan dengan mengadakan upacara gaib untuk mengembalikan jiwa si korban yang telah keluar dari tubuh dan berkelana entah kemana. Tragis memang…
Maka, bila kita sudah memiliki “agama” sebagai “ageman” atau “pakaian” atau “jalan” yang diyakini sudah lurus, maka alangkah idealnya bila kita juga melaksanakan berbagai ritual di dalamnya. Memasuki dimensi batiniah agama (tasawuf/sufistik), juga menyaratkan kita agar tetap eling dan waspada lho.
Ada kalanya dogma yang dipahami secara keliru akan justeru memasukkan kita dalam kondisi kesurupan. Ini biasa terjadi saat pedzikir diperintahkan oleh sang guru dzikir yang dipercaya sebagai orang suci. Dzikir yang tidak dituntun oleh akal budi hakikatnya juga sama dengan praktik shamanisme. Inginnya mencapai kesadaran/kecerdasan spiritual dan mendapatkan makrifat, namun yang terjadi malah kegilaan. Semoga kita selalu awas, eling dan waspada dengan hal ini.
Orang Jawa dulu biasanya memberi nasehat kepada anak-anaknya agar tidak keluar rumah menjelang mahgrib tiba. Sebab pada saat itu, para hantu ke luar rumah untuk berjalan-jalan. Bila mereka menemui anak-anak kecil, maka akibatnya anak tersebut akan mengalami kesurupan. Nasehat dan anjuran para sepuh Jawa ini tidak ada yang salah.
Setidaknya, ada aspek positifnya bila diterapkan pada masa sekarang. Yaitu pada saat maghrib, anak-anak diajari untuk tertib. Menghentikan aktivitas bermain dan kemudian diajarkan untuk ngaji, sholat atau beribadah lain. Anak-anak diajari untuk menghargai waktu sehingga mereka kelak akan memaknai waktu sebagai karunia Tuhan yang harus diisi sebaik-baiknya.
Kedua, anak-anak diajari untuk “waskita” atau memiliki kecerdasan kosmis untuk memandang segala sesuatu secara holistik, ya aspek fisik ya aspek metafisiknya. Kelak bila mereka sudah memasuki usia dewasa, akal mereka akan berpikir kenapa orang tua melarang bermain di waktu surup. Pembelajaran kewaskitaan di dunia pendidikan kini sudah tergerus oleh pemonorsatuan aspek kognitif/akal saja. Sementara pembelajaran yang menekankan pada optimalisasi aspek mental dan spiritual tercecer bahkan tidak lagi mendapat prioritas.
Budaya, mitos dan spiritual sesungguhnya adalah tiga aspek yang sangat penting untuk menyampaikan sebuah ajaran. Di dunia pendidikan, budaya harus dikembangkan karena setiap individu harus hidup di lingkungan sosial kemasyarakatan yang sudah ada tata nilai dan keyakinan bersama. Mitos adalah sarana agar ajaran-ajaran spiritual yang luhur tersebut tersampaikan dan mengendap di otak untuk jangka waktu yang panjang. Dengan paradigma BUDAYA, MITOS, dan SPIRITUAL inilah Kampus Wongalus ingin mengadakan perubahan pola pikir dan mindset kita bersama.
Mitos ini bisa disamakan saat kita mendongeng untuk anak-anak kita menjelang tidur. Dengan dongeng-dongeng, anak akan mudah menerima nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Padahal, dongeng itu kadang tidak masuk akal. Ini tidak jadi soal. Sebab kemanfaatan sebuah dongeng terletak bukan pada masuk akal atau tidak. Namun pada nilai-nilai yang dibawanya. Kelak, bila sudah dewasa mereka akan mudah memilah yang masuk akan dan tidak dengan sendirinya.
Fenomena kesurupan yang banyak terjadi di sekolah-sekolah, hakikatnya adalah pengingat pada pengambil kebijakan di dunia pendidikan agar tidak menomorsatukan aspek kognitif saja. Kurikulum pendidikan yang terlalu otak kiri sentris harus ditata kembali. Sehingga pengembangan otak kanan/ aspek emosional dan batiniah yang akan memberi kekayaan ngelmu kebijaksanaan kembali mendapatkan tempat. Apakah Bapak-bapak yang kini jadi Menteri Pendidikan, Dirjen, Para Pejabat Eselon di Departemen Pendidikan Nasional tidak ingat lagi ya… bahwa pendidikan itu obyeknya jelas manusia dan manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi cipta, rasa dan karsa?…
Kesurupan adalah sebuah keadaan dimana makhluk halus memasuki jasad fisik seseorang. Makhluk itu akan menguasai pikiran, ucapan dan tindakannya sehingga orang akan hilang kesadarannya. Mahluk yang halus itu ada di mana-mana dan dia siap untuk memasuki tubuh siapa saja yang kesadarannya sedang “blank”.
Apa kesadaran “blank” itu? Yaitu fase dimana gelombang otak seseorang memasuki fase alfa teta. Anak-anak yang masih suka berkhayal paling mudah kena kesurupan/kerasukan/kerauhan. Bila orang dewasa masih suka berkhayal maka boleh jadi dia juga mudah kena kerasukan. Anak indigo yang gelombang otaknya sangat rendah juga sering mengalami kesurupan. Ada apa sesungguhnya di gelombang otak rendah ini kok kita mudah berhubungan dengan makhluk halus? Sebab makhluk halus itu gelombang fisiknya juga rendah dan tertangkap oleh kesadaran kita yang sedang memasuki alam yang ada di gelombang rendah pula.
Ini berbeda dengan meditasi untuk menurunkan gelombang otak hingga mencapai titik hening. Dalam meditasi, diri sejati kita tetap akan menjaga agar tidak ada energi halus dari luar diri yang akan masuk dan menguasai kesadaran kita. Bila orang kesurupan berarti kesadarannya nol persen, maka kesadaran orang meditasi adalah seratus persen. Ini sebab kenapa orang meditasi tidak pernah kesurupan. Kecuali bila memang dikehendaki. Lho kok gitu? Ya, sebab ada pula jenis meditasi yang memang menginginkan agar kesadarannya dimasuki oleh makhluk halus. Jadi memang disengaja demikian.
Jenis meditasi ini bisa kita temui pada teknik perdukunan yang menggunakan teknik perewangan, yaitu seorang medium yang melakukan meditasi dan kemudian mengalami “kesurupan” disengaja. Biasanya, orang-orang dewasa memanfaatkan kesurupan disengaja ini untuk mencari nomor lotre, mencari barang hilang, mencari penjahat (digunakan oleh aparat kepolisian) dan lain-lain.
Sebelum hadirnya agama-agama di nusantara, kepercayaan asli nenek moyang kita dulu ya seperti ini. Yaitu kepercayaan adanya banyak yang adikodrati yang menguasai benda-benda, pohon, gunung, bebatuan dan lain-lainnya. Kini mereka yang masih memiliki keyakinan seperti ini dalam khasanah ilmu antropologi disebut dengan Shamanisme. Keyakinan animisme, dinamisme dan shamanisme ini tidak bisa dipisahkan secara tegas. Sebab, pada praktiknya hampir sama meskipun beda obyek sesembahannya.
Untuk membuka jalur komunikasi yang adikodrati, manusia memerlukan seseorang yang pandai untuk mengalami kesurupan yang disengaja tadi. Oleh masyarakat, orang pandai (wong pinter/wong tuwo) ini kemudian dijadikan pemimpin ritual. Dia dihormati, diajeni, dituakan, ditakuti karena memiliki kelebihan dan dianggap sebagai utusan dari dunia adikodrati. Ucapannya ditaati dan tindak tanduknya dijadikan contoh kebaikan.
Untuk melalukan komunikasi dengan dunia metafisis tadi, si wong pinter yang pemuka adat ini biasanya melalukan ritual. Hakekatnya sama dengan para penganut agama dalam masyarakat modern. Ritual itu adalah cara melakukan kontak (menghubungkan) antara yang adikodrati dan manusia. Setidaknya ada syarat yang harus ada dalam sebuah upacara ritual: doa/mantra, korban sesembahan, harapan/permintaan.
Upacara ritual digunakan untuk memberikan sebuah persembahan kepada yang supranatural dengan mantra-mantra khusus untuk meminta mereka melakukan berbagai aktivitas. Jadi selain bermakna filosofis, upacara ritual juga bermakna mistis. Misalnya penyembuhan, mendatangkan keberuntungan, banyak rezeki, keselamatan dan sebagainya. Sang dukun kemudian “kerasukan.” Bisa juga orang lain sebagai medium yang bersedia badannya dimasuki para makhluk gaib itu. Upacara ritual biasanya juga diadakan untuk membimbing arwah orang yang sudah meninggal menuju alam barzakh/alam kelanggengan.
Terkait dengan teknik kesurupan yang disengaja tadi, ada baiknya kita mengambil rujukan tradisi shamanisme purba yang ada di banyak peradaban kumo. Kenapa? Sebab itulah awal mula tradisi kesurupan yang disengaja.
Kata “shaman” diambil dari bahasa Tungusik yang digunakan oleh suku bangsa Tungusik di wilayah Siberia dan Asia Tengah. Istilah shaman sendiri mulai dipakai secara luas oleh kalangan antropolog sejak diterbitkannya karya Mircea Eliade yang berjudul “Shamanism; Archaic Techniques of Ectasy” (Shamanisme; Teknik Kuno Mencapai Ekstasi). Eliade menyebut shamanisme sebagai teknik ekstasi yang tidak serupa dengan bentuk ilmu hitam, sihir atau bahkan pengalaman ekstasi keagamaan.
Shamanisme telah berusia lebih dari 40 ribu tahun. Kata shaman disamakan dengan “dukun”, “tabib”, “psychopomp”, mistik, dan puitis. Apa yang membedakan shaman dengan para pemimpin spiritual jaman sekarang adalah kemampuannya untuk melakukan teknik trance (kerasukan).
Pada saat tak sadarkan diri, jiwa si dukun akan pergi dari tubuhnya dan menuju alam lain dengan panduan arwah lain. Ia dapat melakukan penyembuhan dalam banyak tingkatan; secara fisik, psikologi, dan spiritual. Dalam konsepnya, jiwa seseorang dianggap sebagai tempat tinggal nafas kehidupan dan raga. Setiap sakit fisik sudah pasti disebabkan sakitnya jiwa. Penyakit pikiran menyebabkan penderitaan diri, kekacauan dan ketidaksadaran diri.
Ada banyak sekali jumlah sembahan yang diyakini masyarakat dulu seperti para dewa, roh-roh dan setan. Dewa tertinggi menjadi raja para dewa yang menguasai alam lain di langit dan gunung. Kepercayaan shamanisme juga meyakini makhluk halus/roh-roh yang mendiami hutan, gua keramat, batu-batuan, rumah-rumah dan desa, juga hantu-hantu orang yang meninggal secara tidak wajar. Roh-roh ini dipercaya mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi atau memberi keberuntungan bagi manusia.
Maka, dalam keyakinan shamanisme, kehidupan manusia ini banyak diikuti oleh cawe-cawe para mahkluk gaib untuk membantu hidup manusia. Dan si dukun shaman dianggap orang orang yang berpengaruh dan dijadikan tempat berkonsultasi untuk suatu keperluan. Mulai sakit fisik hingga meramal nasib. Mulai awal tahun 1970-an, ritual-ritual khususnya di Jawa mulai ditinggalkan secara bertahap. Masyarakat modern saat ini menganggap shamanisme hanya sebagai takhayul dan meskipun dianggap takhayul, toh masih banyak yang diam-diam menggunakan jasa para dukun untuk memenuhi kebutuhan dunia mereka.
Untuk meminta petunjuk supranatural setidaknya kita mengenal dua cara kesurupan yang disengaja. Yaitu dengan tari-tarian atau gerakan ritmis tertentu sehingga kesadaran penarinya turun, kondisi jiwa saking “asyiknya” dan kemudian memasuki fase “trance”. Pada pada saat itu, sebenarnya sang penari akan mengalami kesakitan fisik dan jiwa.
Pengalaman ini diyakini adalah upaya penerimaan dan penyatuan secara penuh dengan arwah leluhur sehingga saat sadar nantinya kesehatannya akan semakin baik. Jenis kedua, dukun yang mengalami kerasukan mampu melakukan peramalan melalui tuntunan suara gaib dari dua jenis makhluk. Yaitu dari bisikan mistis makhluk halus maupun dari ruh orang-orang yang sudah meninggal.
BERBAHAYA
Hal utama yang membahayakan terjadi saat proses kesurupan. Bila jiwa kita bersedia untuk dijadikan medium makhluk halus maka jiwa akan mudah mengalami penderitaan yang dicirikan dengan hilangnya nafsu makan, insomnia, serta halusinasi visual dan pendengaran. Untuk menyembuhkan sakit ini diperlukan ritual yang melibatkan dukun yang lain.
Proses kesurupan juga terjadi pada seseorang yang terkena guna-guna atau santet. Yang sering ditemui adalah korban tidak mau makan dan mengalami penurunan kesehatan tubuh. Di jenis yang lain kadang-kadang diikuti sakit psikis, kegoncangan mental. Tubuh mereka akan melemah dan kejang-kejang dalam beberapa kasus diikuti buang air darah. Ia juga akan mengalami sakit jiwa dan halusinasi dengan pikiran yang sangat lelah karena mengalami kontak dengan alam gaib. Makhluk halus yang merasuki korban bahkan dapat bertahan dalam waktu lama, rata-rata 8 tahun dan bahkan puluhan tahun.
Dalam beberapa kasus, korban yang berpenyakit jiwa ini menjadi sangat ekstrim, lari dari rumah dan berkeliaran di mana-mana. Keluarga korban dan para tetangga pun lama-lama jenuh untuk merawat. Bahkan mereka kadang tega untuk memasung korban karena membahayakan akibat perilakunya yang cenderung agresif. Para tetangga pun akhirnya menjauhi keluarga korban yang dianggap tidak mampu merawat korban dengan baik.
Gejala ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan modern karena akan memperparah sakit jiwanya. Sakit ini harus disembuhkan dengan mengadakan upacara gaib untuk mengembalikan jiwa si korban yang telah keluar dari tubuh dan berkelana entah kemana. Tragis memang…
Maka, bila kita sudah memiliki “agama” sebagai “ageman” atau “pakaian” atau “jalan” yang diyakini sudah lurus, maka alangkah idealnya bila kita juga melaksanakan berbagai ritual di dalamnya. Memasuki dimensi batiniah agama (tasawuf/sufistik), juga menyaratkan kita agar tetap eling dan waspada lho.
Ada kalanya dogma yang dipahami secara keliru akan justeru memasukkan kita dalam kondisi kesurupan. Ini biasa terjadi saat pedzikir diperintahkan oleh sang guru dzikir yang dipercaya sebagai orang suci. Dzikir yang tidak dituntun oleh akal budi hakikatnya juga sama dengan praktik shamanisme. Inginnya mencapai kesadaran/kecerdasan spiritual dan mendapatkan makrifat, namun yang terjadi malah kegilaan. Semoga kita selalu awas, eling dan waspada dengan hal ini.